Pendidikan Karakter

Satu tahun terakhir ini, Kementerian Pendidikan Nasional sedang gencar mensosialisasikan mengenai pentingnya penerapan pendidikan karakter dalam sistem pembelajaran di sekolah. Salah satu alasan utamanya adalah bahwa kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih ditentukan oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill).


Sebuah penelitian yang dilakukan di Harvard University Amerika Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2010) menyimpulkan bahwa hard skill hanya menentukan 20 persen dari kesuksesan seseorang, sedangkan sisanya yaitu 80 persen kesuksesan lebih banyak ditentukan oleh soft skill. Kesimpulan ini didukung oleh fakta bahwa orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung oleh kemampuan soft skill dari pada hard skill. Sebuah isyarat yang jelas bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik di Indonesia sangat penting untuk ditingkatkan.

Pusat Bahasa Depdiknas menguraikan, jika karakter dipahami sebagai bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, atau watak, maka berkarakter berarti berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat dan berwatak. Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai karakter itu antara lain meliputi sikap percaya diri, rasional, logis, kritis, kreatif, inovatif, mandiri, bertanggung jawab, sabar, pemberani, jujur, dapat dipercaya, rendah hati, setia, hemat dan sportif.

Tampaknya, Kemendiknas mulai merevisi paradigma pendidikan yang pernah diusung pada tahun-tahun sebelumnya, dimana pendidikan lebih mengutamakan keunggulan yang bersifat lebih pada pengembangan kemampuan teknis dan teknologis, atau penghargaan yang berlebih atas rasionalitas, logika berfikir akademik. Aspek kepribadian yang justru jauh lebih penting, akhirnya menjadi sesuatu yang sempat agak terabaikan. Bahwa keunggulan seseorang dalam kehidupan nyata lebih banyak ditentukan oleh aspek yang terakhir ini.

Sebuah keinsyafan baru yang sebenarnya sama sekali bukan sesuatu yang baru. Namun, justru jauh berabad-abad yang lampau, hal tersebut telah dirisalahkan oleh para nabi. Ingatlah, betapa amat sederhana, tapi bermakna sangat mendalam, bagaimana tujuan dari misi kerasulan Nabi Muhammad SAW. “Tidaklah aku diutus sebagai rasul, kecuali hanya untuk menegakkan akhlaq yang mulia” (Al-Hadits). Akhlaqul karimah (akhlaq mulia) tak lain adalah substansi dari kepribadian yang berkarakter.

Pertanyaannya adalah bagaimana agar konsep pendidikan berkarakter bisa benar-benar dapat diimplementasikan dalam proses pembelajaran di sekolah ? Selain tentu saja, pendidikan karakter lebih banyak waktu diterapkan di lingkungan keluarga atau masyarakat. Dalam konteks sistem pendidikan di sekolah, sekurang-kurangnya pendidikan karakter harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut.

Pertama, pendidikan karakter harus menempatkan kembali peran guru sebagai faktor yang sangat penting dalam pengembangan kepribadian peserta didik. Guru harus dikembalikan pada hakikatnya sebagai pendidik, bukan sebagai sebagai pengajar semata yang hanya bersifat mentransfer pengetahuan di ruang kelas. Sebagai pendidik, guru harus lebih berperan dalam mendidik dan mengembangkan kepribadian siswa melalui interaksi yang intensif, baik selama di ruang kelas, maupun di luar ruang kelas.

Kedua, pengembalian peran guru sebagai pendidik perlu diikuti oleh sebuah sistem pembelajaran yang sungguh-sungguh menempatkan sosok guru sebagai orang yang paling tahu tentang kondisi dan perkembangan anak didiknya, khususnya yang berkaitan dengan masalah kepribadian atau karakter siswa tersebut. Hal ini berarti mensyaratkan bahwa salah satu aspek penting dalam proses pembelejaran, yakni sistem penilaian (evaluasi) perlu dikembalikan sebagai hak mutlak guru yang menentukan.

Ketiga, sebagai bagian dari sistem pendidikan karakter perlu digalakkan kembali sebuah sistem evaluasi yang lebih menitikberatkan pada penilaian aspek afektif, dimana masalah karakter tersebut berada. Sistem penilaian perlu mengedepankan sesuatu yang lebih menjangkau karakteristik seorang anak didik. Caranya adalah perlunya pengembangan sistem evaluasi yang bersifat lisan atau wawancara langsung terhadap siswa, serta bentuk evaluasi yang berbentuk essay. Bentuk penilaian essay dianggap jauh lebih mampu menjangkau penilaian pada aspek karakter seorang siswa, sekaligus sebagai bagian dari proses pembentukan karakter yang positif itu sendiri. Antara lain meliputi kejujuran, kemandirian, kemampuan berkomunikasi, struktur logika, dan seterusnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Pendidikan Indonesia

BElajar yang sesungguhnya

Ciri - Ciri Kedewasaan